Foto: Thoudy Badai/Republika
Sekumpulan orang dengan cat berwarna perak atau silver di sekujur tubuhnya bergegas ke tengah jalan, ketika rambu lalu lintas berganti warna menjadi merah di salah satu sudut perempatan kawasan Timur Jakarta. Tak lama, suara serak lantang terdengar. “Assalamualaikum, selamat malam ibu, bapa, om dan tante. Kami komunitas silver dari Jakarta Timur apa salahnya berbagi rezekinya dua ribu, seribu, gopek-nya, ikhlas dari anda halal buat kami. Kami doakan hati-hati dijalan. Wassalamualaikum”
Komunitas silver, begitulah mereka menamakan dirinya. Dari anak hingga ibu ada didalam komunitas itu. Pemandangan para manusia "silver" ini kerap kali ditemukan di perempatan jalan Ibu Kota. Mereka membaluri sekujur tubuh dengan cat berwarna perak. Umumnya mereka mengharap pemberian uang dari pengguna kendaraan bermotor yang tengah berhenti di lampu lalu lintas.
Rasa waswas terjaring petugas keamanan selalu menghampiri saat mereka beraksi di jalanan.
Mereka memulai aktivitas dari jam tujuh malam hingga dini hari. Rasa waswas terjaring petugas keamanan selalu menghampiri saat mereka beraksi di jalanan. “Yah kita nyilver nggak maksa buat di kasih uang kok. Kita berusaha dengan cara halal buat cari makan, nggak ngelakuin kejahatan,” ujar Ratnasari (37) sambil menggendong anaknya.
Himpitan ekonomi selalu menjadi alasan utama ketika memutuskan untuk mencari peruntungan dengan menjadi manusia "silver". Hal tersebut menjadi siasat mereka untuk bertahan hidup. Beragam persoalan yang pernah dihadapi, menjadi manusia "silver" tentu merupakan jalan terakhir, ketika semua pahitnya kehidupan telah dirasakan.
Penghasilan yang masuk kedalam kantong mereka tidaklah banyak. Setiap malam, masing-masing dari mereka dapat mengumpulkan uang antara 30 ribu rupiah hingga 50 ribu rupiah untuk menyambung hidup di tengah kemegahan Ibu Kota Jakarta.